1. Majapahit dimasa Kejayaan
Kita telah mengenal kerajaan Majapahit sebagai salahsatu kerajaan besar
di Indonesia pada masa lampau. Kerajaan ini telah mencapai puncak
kebesarannya dan keemasannya pada abad XIV, yaitu pada masa pemerintahan
raja Hayam Wuruk. pada masa itu, kekuasaan dan kebesaran kerajaan
Majapahit Sangat luas. Kerajaan ini memiliki pengaruh di seluruh
nusantara, bahkan terhadap Negara-negara tetangganya di Asia Tenggara
(Hasan Djafar, 2009 : 2).
Pada tahun 1894, belanda menyerang Puri Cakranegara di Bali. Raja
dibunuh, Puri dibakar, Rakyat dihabisi dan harta emas kekayaan dirampok.
Salah satu benda yang dirampok adalah satu naskah kuno dari tahun 1365,
yakni kitab Negara Kertagama karangan Empu Prapanca. Kitab ini
menceritakan kemegahan negeri Majapahit ketika raja prabu Hayam Wuruk
dan patih Gajah Mada berkuasa. Kitab ini merupakan intan berkilauan
dalam perpustakaan kita karena berasal dari kerajaan Indonesia kuno,
ketika matahari kebesaran nusantara bersinar terang (Purwadi, 2010:143).
Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk telah
mencapai puncak keemasannya. Dari pemberitaan Prapanca di dalam kakawin
Nagarakertagama, kita mengetahui pada zaman Hayam Wuruk daerah-daerah
yang ada di bawah pengaruh kekuasaan Majapahit Sangat luas (I Ketut
Riana, 2009:96-110). Daerah-daerah pengaruh kekuasaan Majapahit ini
meliputi hampir seluas Negara Indonesia sekarang, yaitu dari
daerah-daerah di pulau Sumatera di bagian barat sampai ke daerah-daerah
di Maluku di bagian timur. Bahkan pada waktu itu pengaruh Majapahit
meluas sampai ke negara-negara tetangganya di Asia Tenggara yang dijalin
dalam bentuk persahabatan yang setara (Hasan Djafar, 2009 : 46).
Setelah berada di bawah kekuasaan raja-raja penggantinya, kerajaan
Majapahit berangsur-angsur mulai mengalami masa kesuramannya. Kebesaran
dan kekuasaan kerajaan Majapahit berangsur-angsur mulai hilang.
Akhirnya, kerajaan Majapahit runtuh. Namun demikian, bersamaan dengan
berlangsungnya proses keruntuhan kerajaan Majapahit muncul
kekuatan-kekuatan baru di daerah pesisir utara Jawa tengah dan Jawa
timur. Kekuatan-kekuatan baru ini secara bertahap dapat menggantikan
peranan dan kedudukan kerajaan Majapahit (Hasan Djafar, 2009 : 46).
Luas daerah-daerah pengaruh kekuasaan Majapahit di Nusantara tersebut
dikuatkan oleh pernyataan yang dikemukakan Tome Pires dalam tulisannya
Suma Oriental pada 1512-1515. di dalam Suma Oriental tersebut, Tome
Pires membuat sebuah pernyataan bahwa sampai kira-kira awal abad XV
pengaruh Majapahit masih menguasai hamper seluruh nusantara (Hasan
Djafar, 2009 : 47).
Kita harus mengakui bahwa Majapahit pada waktu itu merupakan sebuah
kerajaan besar dengan basis ekonominya yang bersifat agraris
semi-komersial. Pengaruhnya –setidak-tidaknya pengaruh kultural- cukup
luas tersebar. Pada waktu itu, penguasa-penguasa Majapahit telah
berhasil sepenuhnya menegakan kesatuan politik dalam satu wilayah yang
luasnya belum pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya (Sartono
Kartodirdjo, 1969:11).
Seperti tercermin dalam Kakawin Nagarakertagama (I Ketut Riana, 2010),
hubungan yang terjalin dengan kerajaan-kerajaan lain di nusantara
merupakan hubungan kerjasama regional yang saling menguntungkan.
Majapahit sebagai kerajaan agraris yang semi komersial berkepentingan
untuk memperoleh komoditas perdagangan dan daerah pemasaran produk
agrarisnya. Dengan demikian, Majapahit sebagai negeri adikuasa
berkewajiban untuk melindungi daerah-daerah di Nusantara tersebut untuk
menjaga kestabilan regional, khususnya di bidang sosial-ekonomi (Hasan
Djafar, 2009 : 48-49).
Dalam kompleks historis yang tercakup dalam lingkungan pengaruh
Sriwijaya, meskipun masuk wilayah supremasi Majapahit, perkembangan
seperti tersebut diatas terjadi. Dalam pemberitaan mengenai
perjalanannya, Marco polo juga menyebut Tumasik dan Samudra Pasai
sebagai kerajaan yang mengakui kekuasaan Majapahit. Juga Ibnu Batuta
telah menyebut Samudra Pasai itu (Sartono Kartodirjo, 1987 : 3).
Di antara kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia, Majapahit merupakan
satu-satunya kerajaan yang dapat kita ketahui susunan pemerintahannya
dengan agak lengkap. Hal ini sebenarnya hanya merupakan sebagian saja
dari seluruh periode sejarah Majapahit, yaitu dari masa pemerintahan
Hayam Wuruk (Hasan Djafar, 2009 : 51).
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk Majapahit telah mencapai puncak
keemasan dan kejayaannya. Pada masa itu, Majapahit telah memiliki bentuk
pemerintahan yang teratur dan stabil. Adapun untuk masa sesudahnya,
khususnya menjelang saat keruntuhannya, kita tidak banyak mempunyai
bahan-bahan yang dapat dipakai untuk mengetahui gambaran tentang bentuk
dan susunan pemerintahan di Majapahit. Akan tetapi dari bahan-bahan yang
ada, ––yang jumlahnya Sangat sedikit–– kita masih dapat menyimpulkan
bahwa bentuk dan susunan pemerintahan di kerajaan Majapahit pada
masa-masa sesudah zaman keemasan tidak banyak berubah. Oleh karena itu,
kita mengatakan dan membayangkan bahwa struktur politik pada umumnya di
kerajaan Majapahit menjelang saat keruntuhannya tidak jauh berbeda
keadaanya dengan jaman sebelumnya (Hasan Djafar, 2009 : 51).
Berita tradisi menyebutkan bahwa kerajaan Majapahit pada tahun 1400 saka
(sirna ilang kertaning bumi). Keruntuhan itu disebabkan karena serangan
Demak. Tetapi berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang sampai kepada
kita dapat diketahui, bahwa pada waktu itu kerajaan Majapahit belum
runtuh bahkan masih berdiri untuk beberapa lamanya lagi.
Prasasti-prasasti batu yang berasal dari tahun 1408 saka (1486 M)
membuktikan bahwa pada waktu itu kerajaan Majapahit masih berdiri. Di
dalam prasasti-prasasti itu disebutkan, rajanya bernama Dyah Ranawijaya
Girindra-wardhana (Sartono Kartodirdjo.dkk, 1987 : 274).
Berita Cina yang berasal dari dinasti ming masih menyebut adanya
hubungan diplomati antara Cina dan Jawa (Majapahit) pada tahun 1499.
Sedangkan dari berita-berita Portugis dan Italia yang berasal dari
permulaan abad ke 16 dapat disimpulkan pula, bahwa pada waktu itu
kerajaan Majapahit masih ada (Sartono Kartodirdjo.dkk, 1987: 275).
Seperti dikemukakan diatas, berdasarkan berita-berita Portugis dan
Italia, pada permulaan abad 16 kerajaan Majapahit masih berdiri. Berita
Portugis yang berasal dari tahun 1514 dan berita Italia yang berasal
dari tahun 1918 masih menyebutkan adanya kerajaan hindu (Majapahit) di
Jawa. Akan tetapi, berita dari penulis Italia Antonia Pigafetta yang
berasal dari tahun 1522 memberikan kesan, bahwa pada waktu itu kerajaan
Majapahit sudah tidak ada dalam pemberitaannya mengenai keadaan di Jawa
ia mengemukakan bahwa pada tahun 1522 Majapahit hanya disebutkan sebagai
sebuah kota saja, tidak sebagai sebuah kerajaan. Lebih jauh lagi di
dalam pemberitaannya mengenai kerajaan di Jawa ia mengemukakan itu
Pigafetta menyebutkan pula nama Pati Unus sebagai raja Majapahit, ketika
ia masih hidup (Sartono Kartodirjo, 1987 : 10).
2. Masa Akhir Kejayaan Majapahit
Di kerajaan Majapahit, ketika Hayam Wuruk dengan patih Gajah Mada masih
berkuasa, situasi politik pusat kerajaan memang tenang, sehingga banyak
daerah di kepulauan nusantara mengaku berada di bawah perlindungannya.
Tetapi sejak Gajah Mada meninggal dunia (1364 M) dan disusul Hayam Wuruk
(1389 M), situasi Majapahit kembali mengalami kegoncangan. Perebutan
kekuasaan antara Wikramawhardana dan Bhre Wirabumi berlangsung lebih
dari sepuluh tahun. Setelah Bhre Wirabumi meninggal, perebutan kekuasaan
di kalangan istana kembali muncul dan berlarut-larut. Pada tahun 1468 M
Majapahit diserang Girindrawardhana dari kediri. Sejak itu kebesaran
Majapahit dapat dikatakan sudah habis. Tome Pires (1512-1515 M), dalam
tulisannya Suma Oriental, tidak lagi menyebut-nyebut nama Majapahit.
Kelemahan-kelemahan yang semakin lama semakin memuncak akhirnya
menyebabkan keruntuhannya (Uka Tjandrasasmita, 1984 : 5-6).
Kebesaran dan kejayaan kerajaan Majapahit, yang telah mencapai puncak
keemasannya pada pertengahan abad XIV, berangsur-angsur mulai surut. Hal
ini terjadi karena sepeninggalan Patih Gajah Mada tidak ada seorang pun
yang mampu mengendalikan roda pemerintahan yang besar dan luas wilayah
kekuasaannya. Selain itu, sepeninggal raja Hayam Wuruk muncul suatu
masalah baru yang menimpa keluarga raja-raja Majapahit, yaitu masalah
perebutan kekuasaan dan pertentangan keluarga yang berlangsung
berlarut-larut dan menimbulkan peperangan antara keluarga raja-raja
Majapahit. Keadaan yang demikian ini menyebabkan timbulnya perpecahan
dan kelemahan di berbagai bidang kehidupan pemerintahan di kerajaan
Majapahit. Akibatnya, kerajaan Majapahit menjadi rapuh dari dalam.
Akhirnya, ketika muncul perkembangan baru di Asia Tenggara, khususnya di
Nusantara, yaitu ketika makin berkembangnya agama Islam dan munculnya
kekuatan baru di daerah-daerah pesisir serta munculnya orang-orang Eropa
sekitar tahun 1500, Kerajaan Majapahit sudah sangat lemah dan mendekati
ambang keruntuhannya (Hasan Djafar, 2009 : 62).
Pertentangan antar keluarga raja-raja Majapahit pertama kali muncul
dalam pemerintahan Wikramawardhana (Bhra Hyan Wisesa). Dari Parameswari
Hayam Wuruk memperoleh seorang putri bernama Kusumawardhani yang
kemudian dijadikan putri mahkota. Kusumawardhani kawin dengan saudara
sepupunya yang bernama Wikramawardhana, yaitu anak Bhre Pajan
Rajasaduhiteswari, adik perempuan raja Hayam Wuruk. Jadi,
Wikramawardhana adalah keponakan dan menantu Hayam Wuruk (Hasan Djafar,
2009 : 63).
Dari isteri selir (rabihaji), Hayam Wuruk memperoleh seorang putra,
yaitu bhre wirabhumi (Pararaton:37). karena lahir dari isteri selir,
maka ia tidak berhak atas tahta kerajaan Majapahit. Walaupun demikian,
ia masih diberi kekuasaan oleh ayahnya untuk memerintah di daerah bagian
timur, yaitu di daerah balambangan. Adapun Kusumawardhani dan suaminya
memperoleh bagian barat dan berkedudukan di Majapahit (Hasan Djafar,
2009 : 63).
Di dalam Serat Pararaton, peristiwa pertentangan keluarga antara
Wikramawardhana (Bhra Hyan Wisesa) dengan Bhre Wirabhumi ini disebut
Paregreg atau peristiwa huru-hara. Peristiwa ini mulai terjadi pada saka
1323. tiga tahun kemudian peristiwa itu timbul menjadi peperangan
antara kedua belah pihak (Pararaton:39). Selanjutnya pararaton
mengemukakan bahwa dalam perang saudara itu mula-mula Bhra Hyan Wisesa
dari Kadaton Kulon menderita kekalahan, tetapi akhirnya setelah mendapat
bantuan dari Bhre Tumapel (Bhra Hyan Parameswara) Kadaton Wetan dapat
dikalahkan. Bhre wirabhumi kemudian melarikan diri ia dikejar oleh Raden
Gajah (Bhra Narapati) dan tertangkap. Ia kemudian dipenggal kepalanya.
Peristiwa ini terjadi pada saka 1328 (Hasan Djafar, 2009 : 64).
Mengutip dari catatan Groeneveldt (1960:36-37), bahwa berita pararaton
tentang peperangan antara Wikramawarddhana dan Bhre Wirabhumi ini sesuai
dengan berita Cina yang berasal dari zaman Dinasti Ming (1368-1643).
Buku ke-324 dari Sejarah Dinasti Ming (Ming-Shih) menyebutkan bahwa
setelah kaisar Ch’eng-tsu bertahta pada 1403, ia mengadakan hubungan
diplomatik dengan Jawa. Ia mengirimkan utusan-utusannya kepada raja
bagian barat, Tu-ma-pan dan kepada raja “bagian timur”, Put-ling-ta-hah
atau P’i-ling-da-ha. Pada 1405, laksamana Cheng-Ho memimpin armada
perutusan ke Jawa. Pada tahun berikutnya,ia menyaksikan kedua raja di
Jawa sedang saling berperang. Kerajaan bagian timur dikatakan mendapat
kekalahan dan kerajaannya dirusak. Berita cina itu mengemukakan bahwa
pada waktu terjadinya peperangan antara kedua raja itu., perutusan Cina
sedang berada di kerajaan bagian timur (Hasan Djafar, 2009 : 64).
Peristiwa persengketaan keluarga ini tidak berhenti walaupun Bhre
Wirabhumi sudah meninggal. Karena meninggalnya Bhre Wirabhumi ini
berarti kekalahan bagi pihak keluarga Bhre Wirabhumi. Oleh karena itu,
muncul benih balas dendam. Maka setelah Wikramawarddhana memerintah di
Majapahit sampai saat meninggalnya, yakni pada Saka 1351 (1429 Masehi).
Ia digantikan oleh puterinya yang bernama Suhita yang memerintah pada
1429-1447 (Krom, 1931:429-430). Mengenai Suhita, Serat Pararaton
memberitahukan bahwa ia adalah anak dari Bhra Hyang Wisesa
(Pararaton:37). Namun, siapa ibunya tidak disebutkan di dalam Pararaton,
tetapi agaknya ibu Suhita adalah putri dari Bhre Wirabhumi. Oleh karena
itu, Suhita mungkin dijadikan raja di Majapahit dengan maksud untuk
meredakan persengketaan antara Wikramawarddhana dan pihak keluarga Bhre
wirabhumi (Krom, 1931:446; Soekmono, 1961:71). Kitab pararaton
memberitakan bahwa pada waktu Suhita memerintah pada Saka 1355 (1433
Masehi), Raden Gajah (Bhra Narapati) dibunuh karena dituduh telah
memenggal Wirabhumi (Pararaton:39). Dengan terjadinya pembunuhan
terhadap Bhra Narapati, maka persengketaan keluarga itu dapat dikatakan
masih terus berlangsung (Hasan Djafar, 2009 : 64).
Pada Saka 1369 yaitu tahun 1447, Suhita meninggal dan kemudian
Kertawijaya menggantikannya menjadi raja di Majapahit. Kertawijaya
meninggal pada Saka 1373 / 1451 M dan dimakamkan di Kertawijaya pura
(Purwadi, 2010 : 119).
Sepeninggal Kertawijaya, Bhre Pamotan menjadi raja dengan bergelar Sri
Rajasawarddhana. Ia dikenal dengan sebutan San Sinagara. Pada waktu
menjadi raja, ia berkedudukan di Kelin-Kahuripan (Pararaton:40). Atas
dasar pemberitaan Pararaton ini, Rajasawarddhana mungkin telah
memindahkan pusat pemerintahannya dari ibukota Majapahit ke
Kelin-Kahuripan pada masa pemerintahannya. Hal ini mungkin menunjukan
bahwa keadaan politik di Majapahit telah memburuk lagi akibat dari
adanya pertentangan keluarga yang telah berlangsung berlarut-larut
(Hasan Djafar, 2009 : 66).
Rajasawarddhana meninggal pada Saka 1375 (1453 Masehi) dan selama tiga
tahun tidak ada raja (Pararaton: 40). Jadi, antara tahun Saka 1375-1378
(1453-1456 Masehi) Majapahit mengalami masa tanpa raja (interregnum).
Namun sebab-sebab terjadinya interregnum ini tidak dapat diketahui
dengan pasti. Hal ini mungkin juga akibat dari pertentangan keluarga
raja-raja Majapahit. Pertentangan yang telah berlangsung dengan
berlarut-larut itu sepertinya telah melemahkan kedudukan keluarga
raja-raja Majapahit, baik di pusat maupun di daerah. Oleh karena itu,
sepeninggal Rajasawarddhana tidak ada yang sanggup tampil untuk memegang
tampuk pemerintahan di Majapahit (Hasan Djafar, 2009 : 66).
Setelah kekosongan kekuasaan raja berlangsung selama tiga tahun, baru
pada Saka 1378 (1456 Masehi) tampil Bhre Wenker (Bhra Hyan Purwawisesa)
untuk memegang pemerintahan Kerajaan Majapahit. Ia adalah anak Bhre
Tumapel Dyah Kertawijaya (Pararaton:38). Nampaknya, selama masa
pemerintahan Bhra Hyan Purwawisesa pertentangan antar keluarga itu dapat
diredakan. Ia memerintah selama sepuluh tahun. Pada Saka 1388 (1466 M),
ia meninggal dan digantikan oleh Bhre Pandansalas (Pararaton:40).
Pararaton memberitakan (anjenen-in Tumapel). Setelah dua tahun
memerintah, ia kemudian menyingkir meninggalkan keratonnya (Hasan
Djafar, 2009 : 66).
Dari prasasti Pamintihan yang berangka tahun Saka 1395, Bhre Pandansalas
ternyata oleh para sarjana diidentifikasikan Dyah Suraprabhawa Sri
Sinhawikrama-warddhana. Pada waktu itu, ia masih memerintah sebagai Raja
Majapahit. Prasasti Pamintihan tersebut memberikan keterangan sebagai
berikut:
“…..paduka sri maharajadhiraja prajaikanatha, srimacsri bhattara prabu
garbbhaprasutinama dyah suraprabhawa sri sinhawikramawarddhana
namadewabhiseka sri giri patiprasutabhupatiketubhuta,
sakalajanarddhananindya parakrama digwijaya,
jangalakadiriyawabhumyekadhipa, siratah prabhuwisesa rin bhumiJawa
makaprakaran jangala mwan kadiri”.
Artinya :
(“…..Paduka Sri Maharaja satu-satunya raja rakyat, Bhattara Prabhu yang
dipertuan, yang mempunyai nama gelar sri maha raja satu-satunya raja
rakyat, bhattara prabhu yang dipertuan, yang mempunyai nama kelahiran
suprabhawa dan mempunyai nama gelar sri sinhawikramawarddhana, yang
menjadi pemimpin (panji-panji) raja-raja keturunan raja gunung yang
mendapat kemenangan dari segala penjuru, penguasa tunggal di tanah Jawa,
jenggala dan kediri. Beliaulah raja yang berkuasa di tanah Jawa,
janggala dan kediri”). (Hasan Djafar, 2009 : 67).
Pandansalas menggantikan Tumapel yang telah meninggal. Ia menjadi
baginda prabu pada tahun Saka 1388 (1466 M). Ia menjadi prabu dua tahun
lamanya ia berkuasa, kemudian menarik diri menjadi pertapa. Pandansalas
yang nama aslinya Singhawikramawardhana, berkeraton di Tumapel selama
dua tahun. Dalam tahun 1468, ia terdesak oleh Kertabhumi (anak bungsu
rajasawardhana) yang kemudian berkuasa di Majapahit. Berdasarkan
keterangan yang terdapat di dalam prasasti Girindawardhana itu, maka
dapat diduga bahwa ketika kadaton tumapel diserang oleh Kertabhumi,
Pandansalas menyingkir ke Daha. Di Daha ia kemudian meneruskannya
pemerintahannya sebagai raja Majapahit (Purwadi, 2010 : 124-125).
Pandansalas meninggal pada saka 1396 (1474 M) dan kemudian digantikan
oleh anaknya Dyah Ranawijaya Pada masa pemerintahannya, Ranawijaya
berusaha untuk mempersatukan kembali seluruh wilayah kekuasaan Majapahit
yang telah terpecah-pecah akibat pertentangan keluarga antara raja-raja
Majapahit. Pada awal menjadi raja menggantikan ayahnya, sebagian
kekuasaan Majapahit masih berada di tangan Bhre Kertabhumi. Untuk
melaksanakan cita-citanya mempersatukan kembali seluruh wilayah
Majapahit, ia harus menggulingkan Bhre Krtabhumi yang sedang berkuasa di
Majapahit. Oleh sebab itu, pada saka 1400 ia mengadakan penyerangan ke
Majapahit untuk merebut kembali kekuasaan Majapahit dari tangan
Kertabhumi (Hasan Djafar, 2009 : 69).
Prabu Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V memegang tahta selama 10
tahun. Tidak diduga sama sekali jika ia menjadi raja Majapahit yang
terakhir, karena setelah beliau, kerajaan adidaya ini melemah dan
kemudian terjadi perebutan kekuasaan kembali. Pada saat konflik di
istana memuncak, di pesisir utara Jawa, orang-orang Islam sudah semakin
kuat, apalagi semenjak datangnya para wali dan ikut mempengaruhi
perkembangan masyarakat Jawa. Pada saat pemerintahan Brawijaya V ini,
kekuasaan Majapahit sudah merosot tajam. Ia hanya mewarisi daerah Jawa
bagian tengah dan timur saja. Daerah-daerah lain sudah tidak ada kontak
kekuasaan lagi. Menurut satu riwayat, Brawijaya V meninggal ketika
istana Majapahit diserang oleh Ranawijaya dari Keling (Purwadi,
2010:125).
Menurunnya pengaruh Majapahit menjadi semakin merosot tersebut salah
satunya karena tidak ada ahli Negara yang sehebat dan sebijaksana Gajah
Mada. Tidak ada tokoh negarawan yang mampu menyatukan berbagai pihak dan
menyikapi segala sesuatu persoalan dengan adil dan bijaksana. Kerajaan
Majapahit runtuh perlahan-lahan dengan memisahkan dirinya menjadi
raja-raja kecil di berbagai pulau dan daerah satu persatu. Majapahit
dalam hal ini tidak ada kemampuan untuk mencegahnya, kecuali melihat dan
membiarkannya saja. Dalam setengah abad, kerajaan yang besar dan luas
tersebut cerai-berai dan kehabisan tenaga (Purwadi, 2010:125).
3. Proses Islamisasi Menjelang Keruntuhan Majapahit
Berdasarkan berita-berita Arab dan Cina, kita telah mengetahui bahwa
beberapa daerah di Indonesia sejak abad VII telah dikunjungi oleh para
pedagang Islam, bahkan di tempat-tempat tersebut mereka membentuk
koloni-koloni. Adanya koloni-koloni para pedagang Islam, yang datang
dari Arab, Persia dan India, sudah tentu menimbulkan pengaruh terhadap
kehidupan sosial-budaya masyarakat sekitarnya, khususnya di bidang
keagamaan dikenalnya agama baru, yakni Islam. Sejak tahun 674 M di
pantai barat Sumatera sudah ada koloni-koloni Saudagar yang berasal dari
negeri Arab. Pada abad ke-8 M di sepanjang pantai barat dan timur pulau
Sumatera diduga sudah ada komunitas-komunitas Muslim (Badri Yatim, 1993
: 162).
Sejak abad ke-13 itu, sudah terjadi hubungan politik dagang antara
orang-orang di kepulauan nusantara dengan Arab, Persia, India, dan Cina.
Hubungan dagang terjadi terutama melalui jalur laut yang melewati
pelabuhan-pelabuhan besar. Pelabuhan utama di Jawa yaitu Sunda Kelapa,
Pekalongan, Semarang, Jepara, Tuban dan Gresik telah tumbuh sejak awal
abad masehi. Para pedagang asing yang datang ke pelabuhan tersebut
sambil menunggu datangnya musim yang baik untuk berlayar sambil
membentuk koloni (Purwadi, 2009:2).
Melihat makam-makam Muslim yang terdapat di situs-situs Majapahit,
diketahui bahwa Islam sudah hadir di ibu kota Majapahit sejak kerajaan
itu mencapai puncaknya. Islam menyebar ke pesisir pulau Jawa melalui
hubungan perdagangan, kemudian dari pesisir ini, agak belakangan
menyebar ke pedalaman pulau Jawa (Ricklefs. M.C, 2009 : 6).
.
Badri Yatim (1993:198) mengutip dari pernyataan Tome pires tentang
gambaran wilayah-wilayah pesisir Jawa berada di bawah pengaruh muslim:
Pada waktu terdapat banyak orang kafir di sepanjang pesisir Jawa, banyak
pedagang yang biasa datang : orang Persia, arab, Gujarat, Bengali,
melayu, dan bangsa-bangsa lain. Mereka mulai berdagang di negeri itu dan
berkembang menjadi kaya. Mereka berhasil mendirikan masjid-masjid dan
mullah-mullah datang dari luar. Oleh karena itu, mereka datang dalam
jumlah yang terus meningkat. Anak-anak orang kaya muslim sudah menjadi
orang Jawa dan kaya, karena mereka telah menetap di daerah ini sekitar
70 tahun. Di beberapa tempat, raja-raja Jawa yang kafir menjadi Muslim,
sementara para mullah dan para pedagang muslim mendapat posisi di sana.
Yang lain mengambil jalan membangun benteng di sekitar tempat-tempat
mereka tinggal dan mengambil masyarakat pribuminya, yang berlayar di
kapal-kapal mereka. Mereka membunuh raja-raja Jawa serta menjadikan diri
mereka sebagai raja. Dengan cara ini, mereka sebagai tuan-tuan di
pesisir itu serta mengambil alih perdagangan dan kekuasaan di Jawa
(Badri Yatim 1993:198)
Berkembangnya agama Islam di pesisir pantai terutama kota-kota pelabuhan
pesisir utara Jawa tidak terlepas dari peran dan pengaruh Wali Sanga
dalam menyebarkan agama Islam. Mereka menyebarkan Islam dengan
menggunakan berbagai metode dakwahnya. Mereka tinggal di pantai utara
Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah
penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria
di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat (Purwadi, 2010:135).
Kekuasaan Majapahit di tanah Jawa mulai tersaingi dengan kekuatan agama
baru, yakni agama Islam. Di Gresik, muncul kewalian Giri yang awal
mulanya hanya semacam pesantren dengan kekuasaan ilmu dan spiritual
saja. Akan tetapi, lama-lama menjadi semakin kokoh dan menjadi kekuatan
politik juga. Daerah-daerah pesisir menjadi tempat konsentrasi
pengembangan dakwah para wali. Kadipaten-kadipaten di pesisir utara
telah diIslamkan dengan baik oleh para wali, Tuban, Gresik, Sidayu,
Jepara, Rembang, Demak, Pekalongan, Cirebon dan Banten. Oleh kekuatan
Islam ini, Majapahit terdorong ke daerah pedalaman dan semakin sulit
berhubungan dengan daerah luar. Sementara itu, agama Islam pun merangsek
ke pedalaman sehingga posisi Majapahit benar-benar menyempit dan
mengecil (Purwadi, 2010:135).
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling
penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh
wilayah timur nusantara. Sunan Giri dan sunan gunung jati bukan hanya
ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga,
dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga
sekarang. Sedangkan muria adalah pendamping rakyat jelata. (Purwadi,
2009:14).
Maulana Malik Ibrahim di Gresik merasa perlu membuat bangunan tempat
menimba ilmu bersama. Model belajar seperti inilah yang kemudian dikenal
dengan nama pesantren. Kendati pengikutnya terus bertambah, malik
merasa belum puas sebelum berhasil mengislamkan raja Majapahit. Pada
waktu itu Gresik di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit. Raja dan rakyat
Majapahit masih beragama hindu-budha. Apalagi rakyat akan selalu merujuk
dan berteladan pada prilaku raja. Karena itu, mengislamkan raja
merupakan pekerjaan yang strategis (Purwadi, 2009:14-15).
Tetapi Malik tahu diri. Kalau ia langsung berdakwah ke raja, pasti tidak
akan digubris, karena posisinya lebih rendah. Karena itu ia meminta
bantuan sahabatnya, yang menjadi raja di cermin. Konon, kerajaan cermin
itu Persia. Tetapi J. Wolbers, dalam bukunya Geshiedenis Van Java,
menyebut cermin tak lain adalah kerajaan gedah, alias kedah di Malaysia
(Purwadi, 2009:17).
Sumber dari Hikayat Hasanudin memperkirakan pada sebelum 1446-tahun
kejatuhan Campa ke tangan Vietnam. De Hollander menulis, sebelum ke
Jawa, Rahmatullah memperkenalkan Islam kepada raja Palembang, Arya
Dammar, pada 1440. perkiraan Tome Pires menjadi bertambah kuat. Dalam
lawatan ke Jawa, Rahmatullah didampingi ayahnya, kakaknya Sayid Ali
Murtadha dan sahabatnya Abu Hurairah (Purwadi, 2009:22).
Rombongan mendarat di kota Bandar Tuban, tempat mereka berdakwah
beberapa lama, sampai syekh asmarakandi wafat. Sisa rombongan
melanjutkan perjalanan ke trowulan, ibu kota Majapahit, menghadap
kertawijaya. Disana Rahmatullah menyanggupi permintaan raja untuk
mendidik moral para bangsawan dan kawula Majapahit (Purwadi, 2009:22).
Sebagai hadiah, ia diberi tanah di Ampeldenta, Surabaya. Sejumlah 300
keluarga diserahkan untuk dididik dan mendirikan pemukiman Ampel. Meski
raja menolak masuk Islam. Rahmatullah diberi kebebasan mengajarkan Islam
pada warga Majapahit, asal tanpa paksaan. Selama tinggal di Majapahit,
rahmatullah dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila, putri Tumenggung Arya
Teja, Bupati Tuban (Purwadi, 2009:22).
Prabu Brawijaya V mungkin tidak begitu menyadari akan hal ini. Bahkan
beliau sendiri mengambil selir seorang putri Cina yang yang sudah masuk
agama Islam. Putri cina tersebut mempengaruhi keagamaan Prabu Brawijaya
V. sementara kadipaten-kadipaten di daerah pedalaman yang masih setia
dengan agama budha, kecewa dengan prabu Brawijaya V yang dianggap lemah.
Misalnya kadipaten ponorogo yang waktu itu dikuasai oleh Suryangalam
hendak memisahkan diri dengan Majapahit karena menganggap tidak mampu
lagi dijadikan payung. Dalam kondisi politik yang demikian para Wali
bertindak cepat mengambil simbol kerajaan Majapahit dan memboyongnya ke
Demak, dan mendirikan kerajaan Islam pertama kali di Jawa